Di dunia kerja, kita menghadapi berbagai macam sifat manusia, yang harus dapat kita kelola. Tidak terkecuali, kita juga akan mengalami berbagai macam sifat atasan yang memimpin kita. Mengapa kita perlu bersikap assertive? Agar siapapun akan memahami sikap dan perilaku kita dengan jelas dan tanpa ragu-ragu. Sikap assertive ini tak hanya diperlukan kita sebagai bawahan, tetapi juga sebagai atasan perlu bersikap assertive agar anak buah tidak mengartikan hal yang lain.
Mengapa kita perlu bersikap assertive kepada setiap perintah atasan?
1. Atasan juga manusia
Atasan adalah manusia biasa, yang tak selalu ingat semua peraturan yang berlaku. Oleh karena itu adalah hal yang sangat wajar jika bawahan mengingatkan atasan, ada peraturan yang sudah tak berlaku, dan bahwa perintahnya tak dapat dilaksanakan karena akan melanggar peraturan yang ada. Yang perlu diingat, jangan hanya mengatakan “tidak” tapi berikan solusinya. Pelajari dulu apakah perintah tersebut masuk akal, apa tujuannya, dan jika memang tujuan untuk kepentingan perusahaan, maka sebagai bawahan kita wajib ikut mencari jalan keluar. Percayalah atasan akan sangat menghargai bawahan yang bersikap assertive, serta mencarikan jalan keluar atas permasalahan yang ada agar tetap sesuai peraturan yang berlaku.
2. Analisis apakah perintah atasan layak untuk dipatuhi
Sebagai pekerja di perusahaan, pisahkan; a) loyal kepada atasan, b) loyal kepada organisasi/perusahaan. Dalam hal menyikapi perintah atasan, maka perlu dipertimbangkan kedua hal tersebut. Kalau loyal pada atasan, padahal setiap saat atasan akan berganti, maka jika perintah atasan tidak sesuai kebijakan, hal ini akan jadi bumerang. Memang diperlukan kemampuan komunikasi yang baik, sehingga keberatan kita dapat dinyatakan secara halus namun tegas, sehingga tidak menyinggung perasaan atasan. Hal ini akan lebih mudah jika perintah atasan melalui disposisi (instruksi tertulis), karena bawahan mempunyai waktu untuk menyatakan pikiran dan analisisnya. Yang tetap diingat, adalah selalu mencari jalan keluarnya.
3. Pelajari sistem dan prosedur, peraturan yang berlaku, serta legalitas setiap perintah
Sebagai pekerja, kita wajib memahami setiap peraturan yang berlaku diperusahaan itu, maupun peraturan2 lain yang wajib ditaati sesuai undang-undang ataupun peraturan lain yang diterbitkan oleh pemerintah atau instansi yang berwenang.
4.Ada beberapa hal yang belum diatur secara khusus, namun secara bisnis layak dilakukan.
Secara umum diketahui, bahwa peraturan tentang hukum berjalan seperti deret hitung, sedangkan bisnis berjalan seperti deret ukur, sehingga sering tidak ketemu. Bagaimana dunia bisnis menyikapi hal ini? Padahal secara bisnis kegiatan layak dilakukan, karena menguntungkan perusahaan?
Sebagai contoh: pada tahun 1990 an, pemerintah belum menerbitkan peraturan tentang Commercial Paper (CP), namun karena kebutuhan bisnis banyak perusahaan yang menerbitkan CP dan meminta Bank untuk melakukan endorsement. Yang perlu diperhatikan adalah, bahwa jika bank telah meng endorse CP yang diterbitkan perusahaan (umumnya nasabah Bank tsb), artinya Bank telah ikut menyetujui dan menjamin, serta ikut bertanggung jawab sebesar nilai CP yang di endorse nya.
Bagaimana jalan keluarnya? Bank yang meng endorse CP perlu menambahkan aturan tertulis, apa-apa yang perlu diperhatikan dan langkah2/prosedur yang wajib dilakukan sehubungan dengan CP. Karena bank ikut bertanggung jawab, rekening kredit perusahaan diblog sebesar nilai CP tersebut, sehingga kalau terjadi sesuatu dikemudian hari, telah ada payung yang melindungi kepentingan Bank.
5. Ada beberapa hal yang telah diatur, namun penerapan dilapangan sulit
Peraturan Bank Indonesia (PBI) membolehkan Bank melakukan restrukturisasi kepada nasabah dengan cara equity participation, atau menempatkan salah satu pegawai Bank duduk dalam jajaran manajemen di perusahaan tersebut, pada umumnya sebagai Direktur Keuangan.
Dengan equity participation, Bank tidak memperoleh bunga ( karena Bank ikut sebagai pemilik perusahaan tersebut). Di satu sisi, pegawai Bank yang menjadi Direktur Keuangan pada perusahaan nasabah akan ikut tunduk pada aturan/ Undang-undang Perseroan Terbatas, sehingga kalau di perusahaan terjadi apa-apa, dia bisa ikut dituntut. Padahal sebagai pegawai Bank, tunduk pada Undang-undang Perbankan.
Dalam case ini, bawahan perlu membuat analisis pro’s dan con’s apabila perusahaan akan melakukan tindakan ini. Apapun keputusannya, telah memperhitungkan risiko yang ada. Dengan analisis yang akurat, maka akan memudahkan atasan untuk menjawab jika timbul pertanyaan dari instansi yang berwenang, mengapa Bank memilih atau tidak memilih menggunakan pola ini.
Pada dasarnya, jika bawahan mendapatkan instruksi tertulis atau perintah dari atasan, usahakan agar setiap tindakan telah dilakukan analisis sehingga tidak akan merugikan perusahaan atau diri kita sendiri di kemudian hari. Dengan latihan yang teratur, dan selalu membaca peraturan-peraturan yang berlaku, maka dengan mudah akan bisa memberikan masukan, dan atasan akan lebih menghargai bawahan yang bersikap seperti ini.
Selasa, 16 Juni 2009
Jumat, 05 Juni 2009
Dunia Usaha Di Indonesia
Peran mayarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam perkembangan Telekomunikasi
Begitu derasnya perkembangan industri telekomunikasi yang masuk ke Indonesia, sehingga menjadikan
Indonesia sebagai objek pasar yang strategis dengan kultur masyarakat yang konsumtif. Ketika negara ini menjadi objek bagi perkembangan industri telekomunikasi, maka peran pemerintahpun harus lebih extra terhadap pelayanan masuknya industri telekomunikasi di negeri ini.
Dari proses reformasi birokrasi yang sedang berlangsung di negeri ini, saya melihat ada perkembangan yang cukup baik bagi layanan kepengurusan sertifikasi di Ditjen POSTEL, karena sesuai dengan KM 10 pasal 2 ( Bahwa setiap perangkat di buat atau dirakit dan akan di pasarkan di
Indonesia wajib di sertifikasi). Kebijakan pemerintah yang menerima dengan baik masuknya industri telekomunikasi di
Indonesia telah di realisasikan dengan mempermudah pelayanan kepenguruasa sertifikasi bagi industri telekomunikasi yang akan memasarkan produknya di negara ini.
Ini pun harus di dukung dengan peran masyarakat dan dunia usaha untuk menjaga kestabilan dari industri telekomunikasi dan mencegah penyimpangan yang dapat merugikan baik secara materi maupun penyimpangan fungsi perangkat telekomunikasi yang dapat mengancam keutuhan bangsa. Saya melihat bahwa pemerintah masih lemah terhadap pengawasan masuknya perangkat telekomunikasi di Indonesia, karena masih banyak perangkat telekomunikasi yang masuk ke
Indonesia tanpa di sertifikasi atau belum di sertifikasi.
Kita tidak ingin bangsa ini dijadikan sebagai objek perdagangan produk illegal, karena Negara dapat di rugikan secara materil dan rentan terhadap penyimpangan dari fungsi perangkat telekomunikasi itu sendiri. Saya mengajak semua rakyat Indonesia, dunia usaha dan khususnya pemerintah bersama – sama melakukan Sweeping tehadap perangkat telekomunikasi yang telah di pasarkan di
Indonesia tanpa di sertifikasi.
Begitu derasnya perkembangan industri telekomunikasi yang masuk ke Indonesia, sehingga menjadikan
Indonesia sebagai objek pasar yang strategis dengan kultur masyarakat yang konsumtif. Ketika negara ini menjadi objek bagi perkembangan industri telekomunikasi, maka peran pemerintahpun harus lebih extra terhadap pelayanan masuknya industri telekomunikasi di negeri ini.
Dari proses reformasi birokrasi yang sedang berlangsung di negeri ini, saya melihat ada perkembangan yang cukup baik bagi layanan kepengurusan sertifikasi di Ditjen POSTEL, karena sesuai dengan KM 10 pasal 2 ( Bahwa setiap perangkat di buat atau dirakit dan akan di pasarkan di
Indonesia wajib di sertifikasi). Kebijakan pemerintah yang menerima dengan baik masuknya industri telekomunikasi di
Indonesia telah di realisasikan dengan mempermudah pelayanan kepenguruasa sertifikasi bagi industri telekomunikasi yang akan memasarkan produknya di negara ini.
Ini pun harus di dukung dengan peran masyarakat dan dunia usaha untuk menjaga kestabilan dari industri telekomunikasi dan mencegah penyimpangan yang dapat merugikan baik secara materi maupun penyimpangan fungsi perangkat telekomunikasi yang dapat mengancam keutuhan bangsa. Saya melihat bahwa pemerintah masih lemah terhadap pengawasan masuknya perangkat telekomunikasi di Indonesia, karena masih banyak perangkat telekomunikasi yang masuk ke
Indonesia tanpa di sertifikasi atau belum di sertifikasi.
Kita tidak ingin bangsa ini dijadikan sebagai objek perdagangan produk illegal, karena Negara dapat di rugikan secara materil dan rentan terhadap penyimpangan dari fungsi perangkat telekomunikasi itu sendiri. Saya mengajak semua rakyat Indonesia, dunia usaha dan khususnya pemerintah bersama – sama melakukan Sweeping tehadap perangkat telekomunikasi yang telah di pasarkan di
Indonesia tanpa di sertifikasi.
Pendidikan Di Indonesia
Dunia Pendidikan, Realitas Sosial, dan Ujian Nasional
Sudah bertubi-tubi dunia pendidikan di negeri ini menuai kritikan tajam dari para pakar, pengamat, dan pemerhati pendidikan. Salah satu persoalan mendasar yang gencar dikritik adalah terlepasnya dunia pendidikan dari realitas sosial yang seharusnya menjadi persoalan inheren yang mengakar dan membudaya dalam ranah dunia pendidikan kita. Imbas yang muncul dari praktik pendidikan semacam itu adalah lahirnya output pendidikan kita yang dinilai berjiwa kerdil, tidak responsif, mau menang sendiri, keras kepala, dan kehilangan sifat-sifat kemanusiawian yang lain.
Dunia pendidikan kita, meminjam istilah Paulo Freire, masih dijangkiti sifat nekrofilis (cinta kematian), bukannya menumbuhkan sifat biofilis (cinta kehidupan). Proses pendidikan yang terjadi di dunia persekolahan tidak lagi menampilkan semangat pembebasan peserta didik dari ketidakberdayaan, tetapi justru menjadi ruang untuk membelenggu kreativitas dan kebebasan sehingga gagal melahirkan manusia-manusia yang cerdas, kritis, kreatif, terampil, jujur, berkarakter, demokratis, dan responsif.
uanBertahun-tahun dunia persekolahan kita terpasung dalam ruang hafalan-hafalan teori dan rumus, tidak ”membumi”, tidak ada upaya serius untuk membawa para siswa didik mampu menerjemahkan berbagai ranah keilmuan yang diperoleh ke dalam realitas sosial. Pendidikan menjadi tercerabut dari problem riil yang seharusnya mereka jawab dan selesaikan. Model pendidikan demikian oleh Paulo Freire dikritik sebagai banking education, yaitu suatu model pendidikan yang tidak kritis karena hanya diarahkan untuk domestifikasi, penjinakan, dan penyesuaian realitas sosial dengan keadaan penindasan.
Yang lebih memprihatinkan, para murid kian kehilangan sentuhan problem riil yang dihadapi bangsa dan masyarakatnya saat-saat mendekati ujian nasional. Anak-anak digiring ke dalam ruang karantina untuk ”dicekoki” berbagai soal yang diperkirakan akan muncul dalam ujian. Mereka diperlakukan bagaikan ”keranjang sampah” yang harus menampung semua tumpahan hafalan teori dan rumus dari sang guru. Guru terpaksa berbuat demikian karena tak sanggup melepaskan diri dari ”tekanan” kepala sekolah demi menjaga gengsi dan citra sekolah. Keberhasilan guru hanya diukur berdasarkan kemampuannya dalam mentransfer pengetahuan yang dimiliki kepada siswa didik dalam menghadapi ujian. Guru yang serius mengoptimalkan diri mengajak siswa melakukan curah pikir dan berinteraksi secara terbuka sehingga mampu mengidentifikasi dan menganalisis berbagai problem sosial dan kebangsaan secara bebas dan kritis justru tidak mendapatkan tempat di ruang sekolah. Proses pembelajaran semacam itu dianggap akan menjadi penghambat keberhasilan siswa dalam menghadapi soal-soal ujian.
Dalam kondisi yang demikian itu, bagaimana mungkin dunia persekolahan kita mampu melahirkan manusia-manusia yang cerdas, kritis, dan responsif? Bagaimana mungkin siswa didik kita tergugah kesadarannya untuk belajar mengenali berbagai problem riil yang mencuat dalam kehidupan sosial?
UN Antirealitas?
Salah satu penyebab tercerabutnya problem sosial dalam dunia persekolahan kita adalah kehadiran soal-soal UN dari tahun ke tahun yang antirealitas, (nyaris) tak pernah menyentuh persoalan-persoalan sosial yang mampu menantang dan menggugah siswa untuk berolah pikir dan berolah rasa. Mereka tidak pernah ditradisikan dan dibudayakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis berbagai persoalan sosial dan kebangsaan yang muncul secara riil di atas panggung kehidupan sosial.
Generasi muda bangsa ini tampaknya sengaja “dimandulkan” dari karakter kreatif dan demokratis agar kelak menjadi generasi “robot” yang gampang dikendalikan oleh pihak penguasa. Jika “kecurigaan” ini benar, nyata-nyata telah terjadi pelanggaran serius dan sistematis terhadap fungsi pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam pasal 3 UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas. Dalam pasal itu secara eksplisit disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Bagaimana mungkin bisa menjadi generasi kreatif dan demokratis kalau mereka tidak pernah ditradisikan untuk berpikir terbuka, dialogis, dan kritis? Bagaimana mungkin anak-anak bangsa ini bisa berpikir terbuka, demokratis, dan kritis kalau UN hanya menampilkan soal-soal pilihan ganda yang tidak pernah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan daya nalar dan daya kritisnya?
Mengapa UN penting dipersoalkan ketika dunia persekolahan kita dinilai telah gagal melahirkan generasi bangsa yang cerdas, kritis, kreatif, terampil, jujur, berkarakter, dan responsif?
Secara jujur harus diakui, UN selama ini masih diyakini oleh para guru sebagai tujuan dan sasaran akhir kelulusan siswa. Guru akan dianggap sukses dan bergengsi jika berhasil membawa siswanya menuju “terminal” akhir kelulusan dan akan divonis telah gagal menjalankan tugas apabila banyak siswanya yang “ndhongkrok” alias tidak lulus. Itulah sebabnya, banyak guru yang merasa “alergi” ketika ditawari untuk mengajar di kelas terakhir atau kelas III. Mereka merasa lebih nyaman dan tanpa beban jika mengajar di kelas I atau II. Sebaliknya, guru yang mengajar di kelas terakhir sering kali harus “senam jantung” dan stres, terutama saat-saat mendekati ujian.
Untuk mempertahankan gengsi, guru di kelas terakhir sering kali menempuh berbagai cara agar siswanya bisa lulus dengan prestasi yang baik; entah dalam bentuk les, pemadatan materi, atau drill soal-soal. Semakin banyak “dicekoki” soal-soal UN tahun sebelumnya, siswa dianggap dalam kondisi “siap tempur” menghadapi UN. Tak ayal lagi, suasana pembelajaran semacam itu semakin jauh dari nilai-nilai edukatif dan makin kering dari sentuhan problem-problem sosial yang mestinya “dibumikan” dan diakrabkan dalam dunia peserta didik. Bahkan, praktik pendidikan semacam itu dinilai sangat bertentangan dengan tujuan diselenggarakannya pendidikan formal di negara mana pun karena akan menyebabkan terjadinya proses penyempitan kurikulum.
Yang lebih ironis, UN selama ini sepertinya hanya diperlakukan semacam upacara ritual tahunan –meminjam istilah Syamsir Alam (2005)– tanpa memberikan pengaruh berarti terhadap upaya pembinaan, pengelolaan, dan pelaksanaan pendidikan pada tingkat sekolah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan. Masukan berupa informasi pendidikan yang diperoleh lewat UN hanya diperlakukan sebagai barang pajangan dan menjadi dokumen mati. Selain itu, instrumen UN –soal-soal pilihan ganda, misalnya– yang digunakan pun sebenarnya masih menyimpan berbagai pertanyaan mendasar yang menuntut pembuktian, khususnya menyangkut metodologi, terutama pada saat melakukan interpretasi terhadap hasil skor tes dan pemanfaatannya agar sesuai dengan tujuan diselenggarakannya UN. Sudah benar-benar sahihkah instrumen UN tersebut digunakan untuk mengukur kemampuan siswa yang sesungguhnya? Bisakah soal-soal pilihan ganda yang dinilai telah “mereduksi” makna kurikulum dijadikan sebagai satu-satunya instrumen untuk memperoleh informasi pencapaian terhadap proses pendidikan yang sudah dilakukan