Jumat, 05 Juni 2009

Pendidikan Di Indonesia


Dunia Pendidikan, Realitas Sosial, dan Ujian Nasional


Sudah bertubi-tubi dunia pendidikan di negeri ini menuai kritikan tajam dari para pakar, pengamat, dan pemerhati pendidikan. Salah satu persoalan mendasar yang gencar dikritik adalah terlepasnya dunia pendidikan dari realitas sosial yang seharusnya menjadi persoalan inheren yang mengakar dan membudaya dalam ranah dunia pendidikan kita. Imbas yang muncul dari praktik pendidikan semacam itu adalah lahirnya output pendidikan kita yang dinilai berjiwa kerdil, tidak responsif, mau menang sendiri, keras kepala, dan kehilangan sifat-sifat kemanusiawian yang lain.

Dunia pendidikan kita, meminjam istilah Paulo Freire, masih dijangkiti sifat nekrofilis (cinta kematian), bukannya menumbuhkan sifat biofilis (cinta kehidupan). Proses pendidikan yang terjadi di dunia persekolahan tidak lagi menampilkan semangat pembebasan peserta didik dari ketidakberdayaan, tetapi justru menjadi ruang untuk membelenggu kreativitas dan kebebasan sehingga gagal melahirkan manusia-manusia yang cerdas, kritis, kreatif, terampil, jujur, berkarakter, demokratis, dan responsif.

uanBertahun-tahun dunia persekolahan kita terpasung dalam ruang hafalan-hafalan teori dan rumus, tidak ”membumi”, tidak ada upaya serius untuk membawa para siswa didik mampu menerjemahkan berbagai ranah keilmuan yang diperoleh ke dalam realitas sosial. Pendidikan menjadi tercerabut dari problem riil yang seharusnya mereka jawab dan selesaikan. Model pendidikan demikian oleh Paulo Freire dikritik sebagai banking education, yaitu suatu model pendidikan yang tidak kritis karena hanya diarahkan untuk domestifikasi, penjinakan, dan penyesuaian realitas sosial dengan keadaan penindasan.

Yang lebih memprihatinkan, para murid kian kehilangan sentuhan problem riil yang dihadapi bangsa dan masyarakatnya saat-saat mendekati ujian nasional. Anak-anak digiring ke dalam ruang karantina untuk ”dicekoki” berbagai soal yang diperkirakan akan muncul dalam ujian. Mereka diperlakukan bagaikan ”keranjang sampah” yang harus menampung semua tumpahan hafalan teori dan rumus dari sang guru. Guru terpaksa berbuat demikian karena tak sanggup melepaskan diri dari ”tekanan” kepala sekolah demi menjaga gengsi dan citra sekolah. Keberhasilan guru hanya diukur berdasarkan kemampuannya dalam mentransfer pengetahuan yang dimiliki kepada siswa didik dalam menghadapi ujian. Guru yang serius mengoptimalkan diri mengajak siswa melakukan curah pikir dan berinteraksi secara terbuka sehingga mampu mengidentifikasi dan menganalisis berbagai problem sosial dan kebangsaan secara bebas dan kritis justru tidak mendapatkan tempat di ruang sekolah. Proses pembelajaran semacam itu dianggap akan menjadi penghambat keberhasilan siswa dalam menghadapi soal-soal ujian.

Dalam kondisi yang demikian itu, bagaimana mungkin dunia persekolahan kita mampu melahirkan manusia-manusia yang cerdas, kritis, dan responsif? Bagaimana mungkin siswa didik kita tergugah kesadarannya untuk belajar mengenali berbagai problem riil yang mencuat dalam kehidupan sosial?

UN Antirealitas?
Salah satu penyebab tercerabutnya problem sosial dalam dunia persekolahan kita adalah kehadiran soal-soal UN dari tahun ke tahun yang antirealitas, (nyaris) tak pernah menyentuh persoalan-persoalan sosial yang mampu menantang dan menggugah siswa untuk berolah pikir dan berolah rasa. Mereka tidak pernah ditradisikan dan dibudayakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis berbagai persoalan sosial dan kebangsaan yang muncul secara riil di atas panggung kehidupan sosial.

Generasi muda bangsa ini tampaknya sengaja “dimandulkan” dari karakter kreatif dan demokratis agar kelak menjadi generasi “robot” yang gampang dikendalikan oleh pihak penguasa. Jika “kecurigaan” ini benar, nyata-nyata telah terjadi pelanggaran serius dan sistematis terhadap fungsi pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam pasal 3 UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas. Dalam pasal itu secara eksplisit disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Bagaimana mungkin bisa menjadi generasi kreatif dan demokratis kalau mereka tidak pernah ditradisikan untuk berpikir terbuka, dialogis, dan kritis? Bagaimana mungkin anak-anak bangsa ini bisa berpikir terbuka, demokratis, dan kritis kalau UN hanya menampilkan soal-soal pilihan ganda yang tidak pernah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan daya nalar dan daya kritisnya?
Mengapa UN penting dipersoalkan ketika dunia persekolahan kita dinilai telah gagal melahirkan generasi bangsa yang cerdas, kritis, kreatif, terampil, jujur, berkarakter, dan responsif?

Secara jujur harus diakui, UN selama ini masih diyakini oleh para guru sebagai tujuan dan sasaran akhir kelulusan siswa. Guru akan dianggap sukses dan bergengsi jika berhasil membawa siswanya menuju “terminal” akhir kelulusan dan akan divonis telah gagal menjalankan tugas apabila banyak siswanya yang “ndhongkrok” alias tidak lulus. Itulah sebabnya, banyak guru yang merasa “alergi” ketika ditawari untuk mengajar di kelas terakhir atau kelas III. Mereka merasa lebih nyaman dan tanpa beban jika mengajar di kelas I atau II. Sebaliknya, guru yang mengajar di kelas terakhir sering kali harus “senam jantung” dan stres, terutama saat-saat mendekati ujian.

Untuk mempertahankan gengsi, guru di kelas terakhir sering kali menempuh berbagai cara agar siswanya bisa lulus dengan prestasi yang baik; entah dalam bentuk les, pemadatan materi, atau drill soal-soal. Semakin banyak “dicekoki” soal-soal UN tahun sebelumnya, siswa dianggap dalam kondisi “siap tempur” menghadapi UN. Tak ayal lagi, suasana pembelajaran semacam itu semakin jauh dari nilai-nilai edukatif dan makin kering dari sentuhan problem-problem sosial yang mestinya “dibumikan” dan diakrabkan dalam dunia peserta didik. Bahkan, praktik pendidikan semacam itu dinilai sangat bertentangan dengan tujuan diselenggarakannya pendidikan formal di negara mana pun karena akan menyebabkan terjadinya proses penyempitan kurikulum.

Yang lebih ironis, UN selama ini sepertinya hanya diperlakukan semacam upacara ritual tahunan –meminjam istilah Syamsir Alam (2005)– tanpa memberikan pengaruh berarti terhadap upaya pembinaan, pengelolaan, dan pelaksanaan pendidikan pada tingkat sekolah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan. Masukan berupa informasi pendidikan yang diperoleh lewat UN hanya diperlakukan sebagai barang pajangan dan menjadi dokumen mati. Selain itu, instrumen UN –soal-soal pilihan ganda, misalnya– yang digunakan pun sebenarnya masih menyimpan berbagai pertanyaan mendasar yang menuntut pembuktian, khususnya menyangkut metodologi, terutama pada saat melakukan interpretasi terhadap hasil skor tes dan pemanfaatannya agar sesuai dengan tujuan diselenggarakannya UN. Sudah benar-benar sahihkah instrumen UN tersebut digunakan untuk mengukur kemampuan siswa yang sesungguhnya? Bisakah soal-soal pilihan ganda yang dinilai telah “mereduksi” makna kurikulum dijadikan sebagai satu-satunya instrumen untuk memperoleh informasi pencapaian terhadap proses pendidikan yang sudah dilakukan

0 komentar:

Posting Komentar